Oleh : Rega Felix, S.H.
Pendahuluan
Pembiayaan murabahah sampai dengan saat ini menjadi skema pembiayaan yang paling banyak digunakan oleh perbankan syariah di Indonesia. Melalui skema murabahah nasabah membutuhkan sejumlah dana untuk membeli aset tertentu, dan untuk itu nasabah mengajukan permohonan kepada bank untuk membeli aset tersebut melalui pihak bank untuk selanjutnya nasabah akan membayarnya secara menyicil.
Dalam suatu pembiayaan murabahah, kondisi perekenomian yang selalu berubah mempengaruhi kondisi usaha nasabah, kondisi tersebut dapat menjadikan kemampuan nasabah untuk membayar utang murabahah menjadi berkurang atau nasabah membutuhkan tambahan modal untuk menyesuaikan usahanya dengan kondisi yang ada. Berdasarkan hal tersebut maka dimungkinkan dalam suatu pembiayaan yang sedang berjalan, nasabah mengajukan pembiayaan ulang (refinancing).
Prinsip dalam transaksi berdasarkan syariah adalah adanya underlying asset yang menjadi dasar transaksi, oleh karena itu skema murabahah tidak dapat digunakan untuk membiayai ulang/melunasi pembiayaan murabahah sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut maka salah satu solusi yang dapat diterapkan untuk proses refinancing adalah melalui penerapan akad musyarakah mutanaqisah.
Konsep Musyarakah Mutanaqisah
Musyarakah merupakan salah satu moda pembiayaan perbankan syariah. Dalam istilah lain musyarakah juga dikenal dengan istilah syirkah. Secara terminologi istilah musyarakah atau syirkah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris yaitu partnership (diartikan dalam bahasa Indonesia : kemitraan). Dalam metode pembiayaan musyarakah, bank dan calon nasabah bersepakat untuk begabung dalam suatu kemitraan (partnership) dalam jangka waktu tertentu. Prinsip utama dalam pembiayaan musyarakah adalah penerapan profit and loss sharing principle. Berdasarkan prinsip tersebut maka pengembalian keuntungan bagi bank tidak didasarkan kepada bunga/interest melainkan didasarkan pada prinsip bagi hasil.
Kaidah dasar dalam pembiayaan musyarakah adalah al-ghunm bi al-ghurm yaitu untung muncul bersama resiko, dengan demikian dalam pembiayaan musyarakah jika usaha yang dijalankan mengalami kerugian bukan karena kesengajaan/kelalaian nasabah maka pihak bank juga menanggung kerugian berdasarkan proporsi modalnya, sedangkan jika usaha yang dijalankan memperoleh keuntungan maka pihak bank mendapatkan keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati. Skema pembiayaan musyarakah dianggap lebih adil dibandingkan dengan penerapan bunga yang fixed and predetermined karena penerapan bunga dapat memicu ketidakadilan ketika nasabah mengalami kerugian karena perubahan iklim ekonomi yang mempengaruhi usaha nasabah.
Dalam praktik bisnis, akad musyarakah mengalami perkembangan. Salah satu bentuk perkembangan akad musyarakah adalah musyarakah mutanaqisah. Istilah musyarakah mutanaqisah disebut juga oleh Muhammad Taqi Usmani dengan isitilah diminishing musyarakah (Muhammad Taqi Usmani, An Introduction To Islamic Finance). “Diminishing” mempunyai arti dalam bahasa Indonesia yaitu “berkurang”, hal ini mempunyai arti porsi modal (hishsah) bank dalam syirkah berkurang akibat pembelian oleh nasabah. Hal ini sebagaimana definisi yang yang diberikan dalam fatwa DSN No.73/DSN-MUI/XI/2008 yang menyatakan musyarakah mutanaqisah adalah musyarakah atau syirkah yang kepemilikan asset (barang) atau modal salah satu pihak berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya.
Karena ada pembelian porsi modal (hishsah) dalam syirkah oleh nasabah maka dalam pembiayaan musyarakah mutanaqisah terdiri dari kombinasi akad antara akad musyarakah dan akad jual beli (al-bai’). Unsur penting yang terdapat dalam akad musyarakah mutanaqisah adalah adanya janji dari pihak bank untuk menjual hishsah-nya secara bertahap kepada nasabah dan nasabah berkewajiban untuk membelinya. Ketentuan penting tersebut telah dinyatakan dalam Fatwa DSN-MUI tentang musyarakah mutanaqisah, dan dengan ditetapkannya fatwa tersebut maka janji tersebut mengikat kedua belah pihak, sehingga jika salah satu pihak tidak menunaikan janji-nya, maka pihak yang tidak menunaikan janji-nya dapat dipaksakan secara hukum untuk menunaikan janji-nya.
Hal penting lainnya yang diatur dalam Fatwa DSN-MUI tentang musyarakah mutanaqisah adalah aset musyarakah mutanaqisah dapat di-ijarah-kan kepada syarik atau pihak lain. Jika aset syirkah menjadi objek ijarah, maka ujrah dari pembayaran sewa atas objek tersebut menjadi keuntungan syirkah yang selanjutnya dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati dalam akad musyarakah mutanaqisah. Pada umumnya hasil keuntungan nasabah akan dialokasikan untuk pembelian hishsah dari bank, sehingga pada akhir masa syirkah nasabah telah memiliki seluruh aset tersebut.
Skema Refinancing Pembiayaan Murabahah Melalui Akad Musyarakah Mutanaqisah
Melalui pembiayaan murabahah, nasabah membeli barang yang dipesannya dari bank, sehingga barang tersebut menjadi milik nasabah, namun nasabah mempunyai kewajiban membayar harga jual barang tersebut secara dicicil. Ketika pembiayaan murabahah sedang berjalan dapat dimungkinkan terjadi penurunan kondisi usaha nasabah sehingga mempengaruhi kemampuan pembayaran angsuran nasabah. Untuk memperbaiki kondisi tersebut maka salah satu yang dapat dilakukan adalah melakukan restrukturisasi pembiayaan atau dilakukan pembiayaan ulang (refinancing) atas pembiayaan lama nasabah.
Pembiayaan murabahah tidak mungkin dilakukan refinancing dengan akad murabahah kembali, karena tujuan pembiayaan dalam murabahah adalah pembelian barang sehingga tidak dapat digunakan untuk pelunasan utang tertentu. Berdasarkan hal tersebut maka untuk dapat dilakukan refinancing terhadap pembiayaan murabahah salah satunya adalah dengan menggunakan akad musyarakah mutanaqisah.
Melalui akad musyarakah mutanaqisah pihak bank membeli kembali sebagian porsi aset yang dibiayai melalui akad murabahah, sehingga porsi kepemilikan atas aset tersebut menjadi milik bersama antara bank dan nasabah. Uang hasil pembelian sebagian aset tersebut kemudian digunakan untuk melunasi utang murabahah sebelumnya.
Bank memiliki porsi kepemilikan atas aset tersebut (hishsah), oleh karena itu bank dapat menyewakan aset yang dimiliki kepada nasabah berdasarkan akad ijarah. Hal ini dimungkinkan sebagaimana dinyatakan dalam fatwa DSN-MUI tentang musyarakah mutanaqisah yang membolehkan aset tersebut di-ijarah-kan kepada syarik. Berdasarkan akad ijarah, nasabah berkewajiban membayar ujrah yang selanjutnya hasil pembayaran ujrah dapat dibagikan sesuai dengan nisbah yang disepakati dalam akad musyarakah mutanaqisah.
Pada dasarnya bank tidak membutuhkan aset yang dibiayai tersebut, sehingga hishsah bank selanjutnya akan dibeli oleh nasabah secara bertahap. Pada umumnya hishsah tersebut akan dibagi per-unit tergantung dengan jangka waktu pembiayaan. Sebagai contoh jika porsi kepemilikan bank sebesar 80% dari total nilai aset sebesar Rp100.000.000,- dan jangka waktu pembiayaan adalah selama 12 bulan, dan pembelian hishsah bank akan dilakukan setiap bulannya, maka per-unit dari hishsah bank yang akan dijual adalah 80% dibagi 12 bulan yaitu 6,67% per-bulannya. 80% dari total nilai aset adalah Rp80.000.000,- dengan jangka waktu 12 bulan maka nasabah membeli per-unit hishsah bank senilai Rp6.666.667,- tiap bulannya. Selanjutnya porsi kepemilikan bank akan semakin berkurang seiring dengan pembelian oleh nasabah.
Pembelian hishsah bank ditujukan untuk pengembalian modal pokok bank, sedangkan keuntungan pihak bank didapatkan dari ujrah atas aset yang disewakan kepada nasabah. Aset tersebut terikat dengan akad syirkah antara pihak bank dan nasabah, sehingga pembayaran ujrah tersebut menjadi keuntungan bersama para peserta syirkah (syarik) sesuai dengan nisbah yang disepakati. Hak nasabah atas keuntungan dari syirkah kemudian dialokasikan untuk pembelian hishsah dari bank kepada nasabah, sehingga secara ril tidak ada keuntungan yang diberikan secara langsung kepada nasabah, namun diakhir masa syirkah nasabah akan mendapatkan porsi kepemilikan aset tersebut secara keseluruhan.
Skema penerapan akad musyarakah mutanaqisah seperti di atas menjadi solusi bagi perbankan syariah ketika nasabah membutuhkan pembiayaan ulang atas pembiayaan lama-nya. Sejalan dengan hal tersebut DSN-MUI juga telah menetapkan fatwa DSN-MUI No. 89/DSN-MUI/XII/2013 tentang Pembiayaan Ulang (Refinancing) Syariah yang salah satunya adalah dengan skema penerapan akad musyarakah mutanaqisah, oleh karena itu saat ini sudah ada payung hukum yang kuat dalam rangka menerapkan akad musyarakah mutanaqisah untuk proses refinancing.
File PDF :