PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR OLEH BANK SYARIAH

Oleh : Rega Felix, S.H.

Pendahuluan

Infrastruktur merupakan salah satu pondasi dalam memutar roda perekonomian. Pertumbuhan ekonomi yang stabil perlu didukung dengan infrastruktur yang baik. Saat ini, Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi yang baik, bahkan Indonesia diproyeksikan menjadi salah satu negara dengan kekuatan ekonomi yang berpengaruh di dunia. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka perlu ditopang dengan pembangunan infrastruktur yang baik. Program percepataan pembangunan infrastruktur saat ini membutuhkan anggaran yang besar, namun anggaran negara yang tersedia tidak mencukupi seluruh kebutuhan tersebut, oleh karena itu pemerintah perlu memanfaatkan dana swasta untuk berpartisipasi dalam pembangunan infrastruktur.

Skema keterlibatan swasta dalam pembangunan infrastruktur sering dikenal dengan istilah public private partnership atau dikenal di Indonesia dengan istilah kerja sama pemerintah badan usaha (KPBU). Melalui skema KPBU, pada umunya pihak swasta tidak memberikan pendanaan secara penuh melalui modal perusahaan (equity), melainkan sebagian pendanaan berasal dari pinjaman lembaga perbankan.

Potensi perbankan syariah untuk turut serta membiayai proyek infrastruktur sangat besar, terlebih Indonesia merupakan negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Salah satu potensi yang dapat dikembangkan adalah penggunaan dana haji untuk pembiayaan infrastruktur. Dengan banyaknya jamaah haji warga negara Indonesia, sedangkan kuota haji bersifat terbatas, maka dana haji mempunyai karakter jangka panjang. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk membiayai proyek infrastruktur yang juga bersifat jangka panjang, sehingga dana tersebut tidak menganggur terlalu lama, dan dapat menghasilkan return tertentu. Penerapan dana haji untuk pembiayaan infrastruktur tentu tidak dapat disalurkan secara sembarangan. Penyaluran harus dilakukan dengan instrumen – instrumen yang diperbolehkan oleh prinsip syariah. Berdasarkan hal itulah potensi bank syariah untuk terlibat dalam pembiayaan infrastruktur besar.

Produk Penyaluran Pembiayaan Bank Syariah

Salah satu prinsip dasar dalam pembiayaan bank syariah adalah pembiayaannya bersifat asset backed financing (Muhammad Taqi Usmani, An Introduction To Islamic Finance). Bank syariah tidak diperbolehkan mengambil keuntungan berdasarkan peminjaman uang hanya karena berjalannya waktu, karena keuntungan tersebut dianggap sebagai riba. Konsep dalam transaksi syariah adalah transaksi yang dilakukan harus berkaitan dengan aset ril atau terdapat underlying asset dalam transaksi tersebut. Berdasarkan prinsip tersebut, maka produk – produk yang umum digunakan oleh bank syariah adalah :

  1. Produk berdasarkan prinsip jual – beli.

Dalam Al-Quran dengan jelas dinyatakan bahwa Allah telah menghalalkan jual – beli dan mengharamkan riba. Jual – beli bukan termasuk dalam riba, dan merupakan metode muamalah yang telah berjalan lama dalam dunia perdagangan termasuk di dunia Islam. Atas dasar kebolehan jual – beli, maka perbankan syariah menjadikan instrumen jual – beli sebagai basis penyaluran pembiayaan. Produk pembiayaan yang umum digunakan adalah murabahah, salam, dan istishna’. Skema murabahah dilakukan dengan cara nasabah hendak membeli barang, namun tidak memilki dana yang cukup, oleh karena itu nasabah memesan pembelian barang tersebut kepada bank. Atas dasar pesanan dari nasabah, bank membelikan barang yang hendak dibeli dari pihak ketiga untuk kemudian dijual kembali kepada nasabah dengan margin keuntungan tertentu dari harga pokok pembelian. Salam dan istishna’ secara prinsip juga merupakan jual – beli, namun yang membedakannya adalah barang yang hendak dibeli belum ada pada saat dilaksanakan akad. Salam umumnya diberikan pada produk – produk pertanian yang tidak membutuhkan proses pembuatan terhadap barang tersebut, sedangkan istishna’ diberikan pada barang yang membutuhkan keahlian untuk membuat barang tersebut, seperti barang manufaktur atau pembangunan gedung.

  1. Produk berdasarkan prinsip bagi hasil.

Penyaluran pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil menggunakan akad yang bersifat natural uncertainty contract. Penyaluran pembiayaan bank konvensional pada umumnya menerapkan keuntungan berdasarkan bunga yang fixed and predetermined. Dalam bank konvensional, perubahan iklim usaha nasabah tidak menjadi pertimbangan dalam suatu kontrak yang berdasarkan bunga, berbeda dengan prinsip bagi hasil yang mempertimbangkan segala perubahan iklim usaha nasabah, karena itu keuntungan yang diterima bagi bank-pun bersifat tidak pasti. Produk yang menerapkan prinsip bagi hasil yaitu akad musyarakah dan mudharabah. Akad musyarakah adalah akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing (Penjelasan Pasal 19 huruf c UU No.21/2008). Akad mudharabah adalah akad kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau Bank Syariah) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (‘amil, mudharib, atau nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh bank syariah kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian (Penjelasan Pasal 19 huruf c UU No.21/2008). Perbedaan antara musyarakah dan mudharabah adalah pada pembiayaan musyarakah baik nasabah maupun pihak bank sama-sama menyetorkan modal sedangkan pada pembiayaan mudharabah pihak yang menyetorkan modal hanya pihak bank, sedangkan pihak nasabah hanya sebagai pengelola yang melaksanakan pekerjaan atas usaha yang dibiayai. Perbedaan lainnya adalah jika usaha nasabah mengalami kerugian, dalam akad musyarakah baik pihak bank maupun nasabah sama – sama mengalami kerugian finansial berdasarkan proporsi modalnya, sedangkan pada akad mudharabah yang mengalami kerugian finansial hanya pihak bank.

  1. Produk berdasarkan prinsip sewa – menyewa.

Penyaluran pembiayaan berdasarkan prinsip sewa – menyewa dalam perbankan syariah berbeda dengan sewa – menyewa konvensional, karena dalam perbankan syariah dapat diterapkan kepada manfaat atas barang dan jasa, sedangkan dalam pembiayaan konvensional hanya kepada manfaat atas barang saja. Produk berdasarkan prinsip sewa – menyewa dikenal dengan akad ijarah. Akad ijarah mengalami perkembangan hingga muncul variasi dari penerapan akad ijarah seperti akad ijarah muntahiya bittamlik (IMBT) yaitu suatu akad ijarah di mana pada akhir masa ijarah terdapat opsi pemindahan kepemilikan objek ijarah. Perkembangan selanjutnya adalah adanya akad ijarah maushufah fi dzimmah (IMFD) yaitu akad sewa-menyewa atas manfaat suatu barang atau jasa yang pada saat akad hanya disebutkan sifat-sifat, kuantitas, dan kualitas  (Fatwa DSN – MUI No. 101/DSN-MUI/X2016). Perbedaan ijarah maushufah fi dzimmah dengan ijarah lainnya adalah barang atau jasa pada ijarah maushufah fi dzimmah belum ada pada saat akad, jadi manfaat atas barang atau jasa menggunakan mekanisme pemesanan seperti pembiayaan berdasarkan salam.

Pembiayaan Infrastruktur Oleh Bank Syariah Bersama Dengan Bank Konvensional

Market share bank syariah di Indonesia saat ini hanya kurang lebih 5% dari seluruh total aset perbankan nasional. Berdasarkan hal tersebut, maka kecukupan modal bank syariah terbatas untuk menyalurkan ke proyek infrastruktur yang membutuhkan dana besar. Skema sindikasi menjadi solusi agar bank syariah dapat berpartisipasi dalam pembiayaan infrastruktur, bahkan dapat dimungkinkan bank syariah akan bersama – sama dengan bank konvensional membiayai proyek infrastruktur yang sama atau sering disebut dengan parallel financing. Sindikasi antara bank syariah dengan bank konvensional diperbolehkan berdasarkan Fatwa DSN – MUI dengan syarat ada pemisahan dokumentasi akad dan rekening (Fatwa DSN – MUI No. 91/DSN-MUI/IV/2014).

Sindikasi bank syariah dengan bank konvensional mempunyai beberapa keuntungan antara lain kecukupan modal bank konvensional lebih kuat, sehingga untuk proyek yang membutuhkan dana yang sangat besar bank syariah tetap dapat berpartisipasi, selain itu bank konvensional memiliki pengalaman lebih banyak dalam pembiayaan proyek – proyek besar, sehingga bank syariah dapat mengambil pelajaran dari sindikasi dengan bank konvensional. Hal yang perlu diperhatikan adalah produk bank konvensional secara prinsip berbeda dengan bank syariah, karena itu diperlukan penyesuaian antara produk bank syariah dengan produk bank konvensional agar dapat berjalan beriringan.

Produk bank konvensional pada umumnya menggunakan basis bunga yang fixed and predetermined, jika bank syariah menggunakan akad musyarakah atau mudharabah, akan menemui kesulitan ketika terjadi peristiwa kerugian karena terdapat klausul yang berbeda secara prinsip antara bank syariah dengan bank konvensional. Berdasarkan hal tersebut, maka akan sulit menerapkan akad musyarakah atau mudharabah sebagai akad yang berdiri sendiri untuk pembiayaan proyek infrastruktur jika dalam proyek tersebut juga terlibat bank konvensional. Dalam contoh praktik di luar Indonesia, akad musyarakah telah berhasil digunakan secara beriringan dengan bank konvensional, namun keberhasilan akad musyarakah tersebut juga karena penerapan kombinasi dengan akad ijarah, melalui penerapan ijarah akan terdapat kesetaraan antara bank syariah dan bank konvensional ketika terjadi peristiwa kerugian.

Akad berdasarkan prinsip jual – beli seperti murabahah atau istishna’ sesungguhnya juga dapat diterapkan secara bersandingan dengan produk bank konvensional. Salah satu prinsip dalam akad murabahah adalah harga jual barang bersifat fixed, sehingga di tengah pembiayaan, bank tidak dapat merubah harga jual barang. Bank hanya dapat memberikan potongan/muqosah atas harga jual, namun tidak dapat menaikan harga jual. Apabila dilakukan sindikasi dengan bank konvensional, maka margin keuntungan dalam akad murabahah akan di-ekuivalen-kan dengan rate bank konvensional. Permasalahan yang muncul adalah pembiayaan proyek infrastruktur pada umumnya bersifat jangka panjang, sehingga bank konvensional akan menerapkan bunga floating. Berdasarkan hal tersebut, maka akan sulit ditemukan rate yang ekuivalen antara bank syariah dengan bank konvensional jika menggunakan akad murabahah untuk proyek infrastruktur yang bersifat jangka panjang.

Akad berdasarkan prinsip sewa – menyewa (ijarah) mempunyai karakteristik yang berbeda dengan jual – beli, karena ujrah dari akad ijarah bersifat fleksibel, sehingga dapat dirubah sesuai dengan kondisi tempat dan waktu. Sifat fleksibilitas dari ujrah menjadikan akad ijarah sebagai solusi dari pembiayaan proyek infrastruktur yang bersifat jangka panjang ketika bank syariah harus bersandingan dengan bank konvensional. Ujrah dari akad ijarah akan di-ekuivalen-kan dengan rate bank konvensional. Permasalahan yang pada umumnya muncul adalah untuk memiliki kapasitas menyewakan aset yang dibiayai, underlying asset akan beralih kepada bank syariah. Aset infrastruktur pada umumnya tidak dapat dialihkan kepada pihak ketiga, untuk itu diperlukan suatu terobosan hukum agar akad ijarah dapat diterapkan untuk pembiayaan infrastruktur.

Link PDF : Pembiayaan Infrastruktur Oleh Bank Syariah_Rega Felix

Posted in dll

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s