PENERAPAN WAKALAH DALAM PEMBIAYAAN MURABAHAH DITINJAU DARI KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARIAH

Oleh : Rega Felix, S.H.

Pendahuluan

Pembiayaan dengan skema murabahah merupakan pembiayaan yang paling sering digunakan oleh bank syariah karena dianggap paling mudah diterapkan. Skema pembiayaan murabahah dilakukan dengan cara pihak nasabah memesan pembelian barang kepada bank, lalu bank akan membeli barang atas pesanan nasabah dari pihak suplier untuk kemudian bank menjualnya kembali kepada nasabah dengan margin keuntungan tertentu bagi bank. Dalam praktik, sering bank syariah memberikan kuasa (wakalah) kepada nasabah untuk membeli barang yang diinginkan oleh nasabah. Berdasarkan hal tersebut, bank tidak secara langsung berhubungan dengan pihak suplier karena sudah diwakili oleh nasabah. Praktik seperti ini tidak lepas dari kritik, karena penerapan wakalah dianggap tidak ada bedanya dengan pembiayaan konvensional, karena bank hanya sekedar memberikan uang kepada nasabah bukan memberikan barang sebagaimana yang dipesan oleh nasabah.

Pemberian wakalah dalam transaksi murabahah sesungguhnya telah diatur dalam Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah. Dinyatakan dalam fatwa tersebut yaitu : “jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.” Secara eksplisit dari fatwa tersebut dapat dikatakan bahwa akad wakalah harus dilakukan sebelum akad murabahah, karena jika secara prinsip barang harus sudah menjadi milik bank, maka wakalah harus sudah dilaksanakan sebelum akad murabahah dilaksanakan. Praktik yang terjadi pada umumnya adalah akad murabahah ditandatangani bersamaan dengan wakalah, hal ini dilakukan agar nasabah tidak perlu bolak-balik pergi ke suplier dan menunjukkan barang yang dibelinya kepada bank. Berdasarkan hal tersebut, yang menjadi pertanyaan apakah praktik tersebut dapat dibenarkan. Untuk mendapatkan jawaban terkait hal tersebut, maka perlu dipahami apa yang dimaksud dengan “akad jual beli murabahah harus dilakukan”. Penentuan pengertian “akad jual beli murabahah dilakukan apakah pada saat ditandatangani akad atau setelah ditandatangani akad menjadi penting, karena akan menentukan kapan wakalah dapat dilaksanakan.

Prinsip Pembiayaan Murabahah

Al-Quran telah mengatur mengenai kebolehan jual-beli sebagaimana dinyatakan dalam surah Al-Baqarah ayat 275 yang pada intinya menyatakan : “……Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…….”. Ayat ini menjadi dasar bahwa jual-beli dapat dilakukan, sehingga para ulama melakukan ijma dan menyatakan bahwa jual-beli murabahah adalah suatu yang diperbolehkan.

Adapun agar suatu jual-beli menjadi sah tetap harus memenuhi ketentuan yang disyariatkan oleh hukum Islam. Berdasarkan hal tersebut, maka terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar jual-beli sah. Rukun dari jual-beli menurut jumhur ulama yaitu adanya : ba’i’ waal-mustari (penjual dan pembeli), tsaman wa mabi’ (harga dan barang), sighat (ijab dan Kabul). Adapun yang menjadi syarat dari jual-beli adalah : 1. Penjual dan pembeli disyaratkan berakal dalam arti mumayiz, atas kemauan sendiri, dan bukan pemboros dan pailit; 2. Barang yang menjadi objek jual-beli disyaratkan milik sendiri, jelas sifat, ukuran dan jenisnya, dapat diserahterimakan ketika akad secara langsung maupun tidak langsung, dan diperbolehkan oleh syariat (mal mutaqawwim); 3. Sighat ijab-kabul disyaratkan diucapkan oleh orang yang mampu, kabul berkesuaian dengan ijab, dan majelis tempat akad wajib menyatu.[Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah : Prinsip dan Implementasinya Pada Sektor Keuangan Syariah]

Mengenai absahnya suatu jual beli menurut jumhur ulama  terbagi menjadi jual beli shahih, jual beli bathil, dan jual beli fasid. Jual beli shahih adalah jual beli yang disyariatkan menurut asal dan sifat-sifatnya terpenuhi rukun-rukun dan syaratnya. Jual beli bathil adalah jual-beli yang tidak disyariatkan menurut asal dan sifatnya kurang salah satu rukun dan syaratnya. Jual beli fasid adalah jual-beli yang disyariatkan menurut asalnya, namun sifatnya tidak, seperti jual-beli anggur dengan tujuan untuk membuat khamr.[Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah : Prinsip dan Implementasinya Pada Sektor Keuangan Syariah]

Benda yang menjadi objek jual-beli dalam transaksi syariah menjadi objek yang penting dalam menentukan sah atau tidaknya suatu jual-beli. Benda yang menjadi objek jual-beli harus jelas, ada, dan dapat diserahterimakan, serta merupakan benda yang diperbolehkan oleh syariat Islam, jika tidak maka jual-beli tersebut dianggap bathil. Berbeda dengan jual-beli dalam KUHPerdata, KUHPerdata tidak mensyaratkan benda apa saja yang boleh menjadi transaksi jual-beli. Syarat yang ketat terhadap benda yang menjadi objek jual-beli mempengaruhi penentuan kapan terjadinya jual-beli menurut syariat Islam. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) menerapkan waktu terjadinya jual-beli yaitu ketika objek jual-beli diterima oleh pembeli. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 64 KHES yang menyatakan : “jual beli terjadi dan mengikat ketika objek jual beli diterima pembeli, sekalipun tidak dinyatakan secara langsung”. Ketentuan ini tentu sejalan dengan prinsip syariah bahwa objek jual-beli harus jelas, ada, dan dapat diserahterimakan. Ketentuan ini berbeda dengan KUHPerdata yang menganut prinsip jual-beli terjadi ketika dicapai kesepakatan mengenai harga dan barang sebagaimana diatur dalam Pasal 1458 KUHPerdata. Asas yang mendasari Pasal 1458 KUHPerdata adalah asas konsensualisme, berbeda dalam jual-beli berdasarkan prinsip syariah, asas konsensualisme saja tidak cukup untuk menyatakan jual-beli sah dan telah terjadi.

Akad murabahah pada prinsipnya merupakan akad jual-beli. Skema pembiayaan murabahah dilakukan dengan cara pihak nasabah memesan pembelian barang kepada bank, lalu bank akan membeli barang atas pesanan nasabah dari pihak suplier untuk kemudian bank menjualnya kembali kepada nasabah dengan margin keuntungan tertentu bagi bank. Dari skema di atas, maka dapat dilihat dalam suatu transaksi murabahah terdapat dua hubungan hukum yang terpisah, yaitu hubungan hukum antara bank dengan pemasok barang dan hubungan hukum antara bank dengan nasabah. Transaksi murabahah merupakan transaksi jual-beli, oleh karena itu rukun dan syarat sebagaimana yang ada dalam transaksi jual-beli juga berlaku dalam transaksi murabahah baik transaksi antara bank dengan pemasok barang maupun transaksi antara bank dengan nasabah.

Waktu Diberikannya Wakalah Dalam Pembiayaan Murabahah

KHES menyatakan bahwa jual beli terjadi dan mengikat ketika objek jual-beli diterima pembeli. Berdasarkan hal ini, maka adanya kesepakatan mengenai harga dan barang belum menjadikan suatu perjanjian jual-beli telah terjadi. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dalam suatu perjanjian murabahah, transaksi jual-beli murabahah baru terjadi ketika barang dari pemasok yang diterima oleh bank telah diserah-terimakan kepada nasabah (pembeli), jadi penandatangan akad murabahah bukan menjadi penentu telah terjadinya jual beli murabahah. Hal ini berimplikasi pada waktu yang dapat digunakan dalam pemberian wakalah jika bank hendak mewakilkan pembelian barang kepada nasabah.

Terkait hal ini, Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa dalam jual-beli murabahah, saat yang menentukan adalah bukan saat akad murabahah ditandatangani antara bank dan nasabah, tetapi ketika barang tersebut wajib diserahkan oleh bank kepada nasabah. Berdasarkan hal tersebut, maka Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa bersamaan atau setelah ditandatangani akad murabahah, dapat pula dibuat dan ditandatangani perjanjian pemberian kuasa antara bank dan nasabah yang berisi pemberian kuasa oleh bank kepada nasabah untuk membeli barang/barang-barang tertentu yang diinginkan oleh nasabah terkait dengan permohonan fasilitas murabahah tersebut. [Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah : Produk-Produk Dan Aspek-Aspek Hukumnya]

Berdasarkan pandangan di atas, maka makna “akad jual beli murabahah dilakukan” sebagaimana diatur dalam Fatwa DSN-MUI yang mengatur mengenai penerapan wakalah dalam pembiayaan murabahah dapat dimaknai bahwa bukan berarti wakalah harus dibuat sebelum akad murabahah dibuat dan ditandatangani, melainkan dapat dibuat setelah atau seketika ketika akad murabahah dibuat dan ditandatangani.

Akibat Hukum Diberikannya Wakalah Dalam Pembiayaan Murabahah

Pemberian wakalah dalam pembiayaan murabahah mempunyai akibat hukum tersendiri, karena pihak bank tidak secara langsung melakukan pembelian barang dari pemasok. Syarat dalam suatu transaksi murabahah adalah adanya dua hubungan hukum yang terpisah dan tidak dapat disatukan dalam satu akad saja, yaitu hubungan hukum antara pemasok dengan bank, dan hubungan hukum antara bank dengan nasabah. Syarat ini adalah mutlak sehingga tidak dapat serta-merta pemberian wakalah menghapuskan hubungan hukum antara bank dengan pemasok. Syarat ini juga telah dinyatakan dalam Fatwa DSN-MUI tentang Murabahah yang menyatakan “Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.” dengan demikian pemberian wakalah tidak menjadikan nasabah membeli barang untuk dan atas nama dirinya sendiri.

Menurut Sutan Remy Sjahdeini dijelaskan bahwa transaksi jual-beli antara bank dengan pemasok harus terjadi terlebih dahulu sebelum terjadi jual-beli antara bank dengan nasabah dikarenakan perpindahan hak kepemilikan barang dari pemasok kepada bank terlebih dahulu menjadi dasar bagi bank untuk berhak menjual barang tersebut kepada nasabah berdasarkan akad murabahah. [Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah : Produk-Produk Dan Aspek-Aspek Hukumnya] Pemberian wakalah kepada nasabah tidak boleh menghilangkan dua hubungan hukum yang menjadi dasar bagi bank untuk menjual barang kepada nasabah. Ketentuan ini juga telah diatur dalam KHES sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 480 yang berbunyi : “Jika satu pihak menunjuk pihak lain sebagai penerima kuasa untuk membeli suatu barang tertentu tidak boleh membeli barang itu untuk dirinya sendiri”.

Dalam pasal lain, yaitu Pasal 481 ayat (1) KHES disebutkan : “Apabila setelah membeli barang itu penerima kuasa mengatakan bahwa ia telah membeli barang itu untuk dirinya sendiri barang itu tetap menjadi milik pemberi kuasa”. Dari pasal ini terlihat bahwa meskipun nasabah membeli untuk dirinya sendiri dengan tidak mencantumkan pembelian atas nama bank, maka secara yuridis barang tersebut tetap menjadi milik bank.

Aturan di atas penting pada saat menentukan kapan utang murabahah pada pembiayaan murabahah yang menggunakan wakalah muncul. Seperti yang telah dikatakan di atas bahwa jual-beli terjadi pada saat barang diterima oleh pembeli, maka dengan ditandatangani-nya akad murabahah tidak serta-merta menimbulkan utang atas harga jual yang ditetapkan pada akad. Jika setelah ditandatangani akad murabahah pihak bank memberikan akad wakalah kepada nasabah beserta sejumlah uang untuk pembelian barang yang dimohonkan, maka utang yang muncul setelah itu adalah utang atas akad wakalah bukan utang atas akad murabahah. Pihak bank tidak mempunyai hak atas harga jual dalam akad murabahah sampai barang yang dibeli tersebut diserah-terimakan dari bank kepada nasabah. Berdasarkan hal ini, adalah penting untuk mencantumkan jangka waktu pembelian yang dilakukan oleh nasabah atas dasar wakalah, dikarenakan jika tidak dicantumkan jangka waktu tersebut, maka tidak ada kepastian kapan utang atas harga jual murabahah muncul.

Utang atas harga jual murabahah muncul ketika barang telah diserah-terimakan dari bank kepada nasabah, maka bukti serah terima barang tersebut menjadi hal yang penting dalam menentukan kapan kewajiban nasabah atas pembayaran barang muncul. Pasal 481 ayat (3) KHES menyatakan : “barang yang dibeli oleh penerima kuasa menjadi miliknya jika telah mendapat izin dari pemberi kuasa untuk membeli barang atas nama penerima kuasa”. Ketentuan ini agak berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 480 KHES dan Fatwa DSN-MUI tentang Murabahah yang mensyaratkan barang harus dibeli atas nama bank terlebih dahulu, namun pasal 481 ayat (3) KHES bukan berarti menghapuskan hubungan hukum antara bank dengan pemasok. Instrumen izin dalam pasal ini berfungsi sebagai penegas bahwa pihak bank mengakui bahwa nasabah telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan wakalah yang diberikan sekaligus menjadi dasar peralihan hak milik atas barang yang dibeli yang secara yuridis merupakan milik bank untuk diserahkan menjadi milik nasabah. Berdasarkan hal ini, dalam suatu transaksi murabahah yang menggunakan wakalah adalah penting adanya izin/bukti serah terima barang yang dibeli dari bank kepada nasabah sebagai bukti adanya hubungan hukum yang tercipta antara bank dengan pemasok serta hubungan hukum antara bank dengan nasabah.

Sumber Referensi :

Buku

Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah : Prinsip dan Implementasinya Pada Sektor Keuangan Syariah, Rajawali Press, Jakarta, 2016.

Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah : Produk-Produk Dan Aspek-Aspek Hukumnya, Kencana, Jakarta, 2014.

Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Mahkamah Agung  No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES).

Sumber Hukum Lainnya

Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah.

Burgerlijke Wetboek diterjemahkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

 

Link PDF : Penerapan Wakalah Dalam Pembiayaan Murabahah Ditinjau Dari KHES_Rega Felix

 

Posted in dll

Leave a comment